Asap rokok menemani pagiku. Sedang di ujung kaki, hawa dingin menempel seperti permen karet yg sudah terkunyah selama dua jam.
Hampir membeku daging di dalamnya kurasa, bahkan sendi lututku pun terasa linu.
Apa? K
au tak percaya?
Tak apa.
Toh aku sedang tak ingin berdebat.
Kudengar di sebelah barat sana rekaman kaset Tarhim yang diputar marbot masjid, sendu, seperti mengiris iris iga.
Ya. Iga yang di dada.
Kubuang puntung rokok yang masih setengah.
Kupandangi puntung yang sekarang terjungkir miring di kolong meja tua yang hampir ambruk.
Kasihan...
Bukan, bukan puntungnya.
Tapi meja ini, meja lapuk ini yang terlihat menderita. B
egitu banyak bopeng dan luka, bekas sundutan rokok.
Ah... Sudah subuh rupanya.
Dengan malas kuseret kakiku yang beku.
Haaah..!
Pasti di sumur itu kaki ini bakal lebih sengsara.
Pasti!
Tapi, siapa perduli?
Toh nanti wajah, tangan, dan telinga ini juga sama.
Kedinginan.
Kenapa aku harus repot-repot memikirkan kaki?
Sinting!
Hei! Apa puntung rokok yang tadi sudah mati?
Akan kulihat sebentar, untuk memastikan saja.
Ternyata sudah
"Bah! Matahari itu kenapa? Tak muncul muncul? Jam berapa ini? Telat sekolah barulah dia tahu rasa."
Ku buka sedikit jendela kamarku, sekitar dua jari saja, asal cukup aku buat mengintip jalan di depan rumah.
Masih sepi.
Mungkin masi meringkuk di hangatnya sarung palekat masing masing.
Sepertiku.
Aku juga punya sarung palekat asal kau tahu.
Sarung tenunan asli dan hangat.
Itulah yang membuat aku betah berlama lama meringkuk didalamnya.
Kututup lagi jendela kamarku.
Rapat.
Tak kubiarkan cahaya masuk.
Toh matahari juga belum muncul bukan?
Kutarik sarung palekat hangat sampai membungkus tubuhku.
Seluruhnya...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sahur"
Posting Komentar